Pages

24.8.13

Post from past: art now (or past?)



Good afternoon, everyone who reads this blog.


glad if i knew there's someone out there reading this "blog-which-not-yet-promoted-on-everywhere"


10 Juli 2013, hari pertama bulan Ramadhan di negara seribu pulau ini. aku seorang muslim dan ini adalah hari pertama termalas dalam 3 tahun terakhir ini. dua tahun yang lalu, tiap tahunnya, aku mendapatkan free course dari Erasmus Taalcentrum untuk Zomercursus. well, it's like a very short summer course in dutch (only two weeks, 10 days actually, from monday to friday). we learn anything, well mostly about Netherland, in dutch. there were few natives from Belgium and Netherland. On weekdays on Ramadhan, after sahur, i can't sleep but i should get ready and gone to Erasmus. If you ever visited Jakarta, you will know how the traffic jam was in every weekdays' morning. The class began at 8 but i already took a bus at 6, nice right... but don't worry, i get none of those morning-thingy any more this year. i even woke up at 11, what a potato-bed (the sims has potato couch). woke up and did nothing except playing Loco Roco 2 on bed. yang lainnya? jangan, sangat menyedihkan.





Menulis ini ku lakukan sambil menunggu episode pertama Gallery Girls selesai buffering. Aku tak tahu sebenarnya macam reality show apa yang akan aku tonton. tapi si bulan bilang padaku, "it's ok if you wanted to watch it. you could see how sucks art world now, not only in Indonesia but worldwide!" .. yeah, aku dan si bulan senang mengkritik banyak karya seni yang dibuat oleh seniman (terutama, muda) di tanah kelahiran kami ini. membicarakan seni, sebenarnya aku tak punya banyak hak untuk mengkritiknya sementara pengetahuanku masih minim tentang dunia kanvas ini. aku mengetahui seni dari sejarah sastra yang aku pelajari. well, dosenku pernah bilang bagaimana sastra berkembang juga dipengaruhi oleh tren seni rupa apa yang sedang berkembang pada masa tersebut. seperti pada masa di mana gaya baroque dengan segala liuk-liuk di ukiran merambat hebat di pangkal dan ujung tiang-tiang penyangga, membuat karya sastra pada masa itu memiliki gaya bahasa yang tidak bisa diterima dengan mudah. pada masa itu para penulis banyak menggunakan kata sifat dalam mengungkapkan perasaannya dan penglihatannya. aliterasi dan kontras digunakan dalam kalimat. sehingga kesan meliuk-liuk yang muncul mirip dengan seni yang berkembang saat itu. well, itu dari sastra Belanda, mungkin pembaca bisa tanya kepada bapak serba tahu, Pak (G)Ugel), untuk informasi lebih lengkap tentang baroque. ya, seperti itulah batas pengetahuanku tentang seni rupa.
Pada tahun ketigaku kemarin, di semester lima dan enam, aku membahas dua seniman besar Belanda. Vincent van Gogh dan Piet Mondriaan (i used his original name spelling). Ya, aku mempelajari secara singkat tentang dua pelukis berbeda zaman itu. Bahkan, aku sampai menonton film yang diangkat dari history roman karya Irving Stone berjudul Lust for Life. Ya, semacam autobiografi dari van Gogh diangkat dari kumpulan surat-surat Vincent van Gogh kepada adiknya Theo van Gogh. meminjam dua seri buku kumpulan surat van Gogh dan membaca beberapa buku secara singkat tentang van Gogh dan gaya impresionisnya. Sejujurnya, aku tidak mempelajari lukisannya, kembali, dosenku mengingatkan, "kita tidak belajar seni rupa, kita belajar budaya! sastra!", dan ya, pengetahuanku tentang gaya lukisan van Gogh pun terbatas. Sehingga, tulisan terakhirku pun bukan tentang lukisannya melainkan tentang sebuah buku karya Theu de Vries berjudul Vincent in Den Haag.

Kehidupan van Gogh adalah hal yang banyak aku pelajari untuk membahas buku ini. singkatnya, kota Den Haag menjadi kota awal mula van Gogh mulai banyak berkarya. Di kota ini lah ia banyak belajar tentang cara melukis. Aku tidak ingin terlalu banyak bercerita tentang van Gogh, aku bukan ahli van Gogh, jadi aku hentikan sampai sini saja kisahnya, ingin tahu lebih lanjut, call Uncle Gugel. Apa yang aku perhatikan adalah bagaimana lingkungan seni rupa saat itu. Pada masa itu, karya yang van Gogh buat bukan lah "sesuatu" untuk para elit seni rupa. dalam hidupnya, tidak semua lukisannya terjual. Ia tidak dikenal di galeri mana pun kecuali di tempat pelelangan lukisan di mana ia bekerja. bisa dibilang, hidupnya sebagai seniman tidak semulus seniman-seniman Prancis di luar sana. tidak dikenal sampai akhirnya ia meninggal dan adik iparnya lah yang sadar bahwa apa yang van Gogh torehkan adalah kisah tragis seorang seniman. seniman yang seharusnya dikenal oleh dunia dengan karyanya. Keadaan van Gogh ini adalah tamparan yang hebat untuk kritikus seni rupa. Dari sinilah, para pengamat mulai memiliki misi seperti judul lagu Aerosmith, don't wanna miss a thing.

Yeahthey do don't miss a thing but found something that looks so awful nothing. itu lah yang aku pikirkan tentang seni rupa modern ini. sering aku mendengar atau membaca kalimat, "art is easy, everyone can draw!", dan aku mempercayainya. semua orang memang bisa menggambar, saat seorang anak kecil menggambar lingkaran, dia bisa menggambar bukan? saat seorang dewasa sedang menerima telpon yang membosankan dan mencoret-coret kertas catatannya dengan garis-garis yang tidak seperti tulisan (dari huruf latin sampai romawi sampai yunani bahkan rusia), dia sedang menggambar dan bisa menggambar bukan? bedanya, mereka bukan menggambar sebagai karya lukis yang nantinya bisa dipajang di galeri-galeri menyilaukan. Banyak seniman muda yang muncul jaman ini hingga aku merasa bahwa masa ini adalah masa modern renaissance. Ya, seniman, mau arti gambarnya pas-pasan pun, berani menunjukkan dirinya dengan sangat bangga menggunakan namanya, kebanyakan sih samaran atau ya minimal rubah namanya sedikit, seperti yang aku lakukan, haha.

Banyak seniman, tapi banyak karya tak berarti. aku tidak mengatakan karya mereka sampah (karena kadang tak berarti sering diartikan seperti sampah, kata hati-hati yang sensitif), aku melihat beberapa karya cukup bagus. apalagi dengan teknik-teknik rumit, dan aku cukup kagum dengan seniman yang menggunakan mixed media dalam karyanya, dihadirkan dalam selembar kanvas. Secara visual, wow, fantastis. Lalu, aku melihat identitas karya, judulnya ... tetot! melenceng jauh dari visual.

Ya, seniman itu banyak! bahkan seorang anak SD yang bisa mewarnai tanpa salah persepsi warna dengan menggunakan krayon minyak pun bisa kita sebut sebagai seniman apabila definisi seniman adalah orang yang bisa menggambar dengan sempurna dan teknik yang rumit. sungguh, banyak! semua orang di kepalanya memiliki ide gila untuk menciptakan suatu karya. banyak orang yang aku temui memiliki ide gila dan fantastis bahkan mega saat membicarakan karya yang akan dia ciptakan, tapi saat eksekusi ....... fail. apa yang mereka buat tidak memiliki filosofi yang kuat untuk mematenkan karyanya. filosofi bukan dengan menggunakan pemikiran ilmu filsafat. melainkan cerita dibalik karya itu. cerita yang kuat, cerita yang tidak harus 150 kata seperti sebuah artikel pendek di koran, cerita yang menggugah pengamat seni rupa awam sehingga mengerti karya di depan mata mereka.

ya, pengamat seni mulai tidak melewatkan seniman seorang pun, tetapi apa yang mereka lihat sekarang memulai lagi babak baru di mana van Gogh ditidakacuhkan. Kembali lagi mereka hanya memperhatikan karya-karya dengan seniman yang hanya berhasil dalam lifestyle saja.

apabila paragraf ini diharuskan menjadi paragraf solusi, aku hanya akan memberikan solusi kepada para seniman untuk mulai banyak membaca buku. beberapa orang mengatakan bahwa seni rupa itu tidak harus sekolah. memang. tetapi ilmu yang diberikan di sekolah atau institusi atau universitas adalah pemasok kebutuhan otak agar tidak menjadi seniman sekelas anak SD. bahkan, aku rasa anak SD pun karyanya jauh lebih berisi dibandingkan seniman yang tidak mementingkan pendidikan. well, untuk para seniman tua, aku minta maaf apabila ini menyinggung perasaan kalian. ini hanya kritik kecilku saja kepada para seniman muda yang tidak memikirkan arti dari karya yang mereka buat.

lucu juga sebenarnya apabila ada aliran yang disebut dengan pemikiran-pemikiran para filosof ... seni sosialis, seni marxist, seni ekstensialis, seni feminis, seni psikoanalisis dan lain-lain. ya, well, sebenarnya tanpa disebutkan, sebuah karya yang dalam pastinya memiliki unsur-unsur dari para pemikir dunia tersebut.




(hey, did i mention about lifestyle? well, let me define it: as long as you have two lifestyle capitals,  you (precisely, your parent) have lot of money (to buy expensive laptop or desktop, paint, brush, and money to go to expensive art school) and lot of friends (hipster to hipster), you can be an artist)

No comments:

Post a Comment