Pages

26.8.13

hati yang gundah #1

(kenapa judulnya galau dangdut banget? karena memang rasanya seperti itu dan akan kulanjutkan setiap aku merasa seperti itu)
 
pembicaraan bersama pembimbing akademis siang ini tidak hanya membicarakan perkuliahan yang bermasalah saja tetapi juga dengan bagaimana aku akan selanjutnya berjalan untuk semester ini, selanjutnya, dan setelah selesai bertoga. tidak terasa sebenarnya aku sudah berada di putaran terakhir (amin) kuliah ini. tidak disangka aku akan menghadapi semua mata kuliah jebakan jurang. aku berharap tidak masuk ke dalam jurang dan dapat berjalan dengan pelan menuju ujung tebing. sungguh mendebarkan sebenarnya. apalagi pembimbingku sudah benar menyadari bahwa ketertarikanku terhadap dunia seni rupa lebih banyak ketimbang sastra sendiri. aku tidak bilang dia seratus persen benar, aku suka dunia yang aku geluti sekarang, sastra, tetapi aku seorang pemerhati dan pelaku seni pula. walaupun aku bukanlah pelaku yang masuk kategori outstanding. bukan karena aku tidak ingin, malah karena aku ingin sekali menjadi salah satu dari para orang-orang beyond tersebut. hanya saja perjalananku lama, karena aku tak mau menghilang begitu saja. itu prinsipku.

aku berdebar setiap kali pembimbingku mengatakan bahwa aku harus pergi ke Belanda dan akan sangat cinta untuk berada di sana. ia menceritakan seolah Belanda adalah kota seni yang tidak kalah dengan Prancis. aku percaya itu. Belanda melahirkan Rembrandt, van Gogh, dan Mondriaan! tiga seniman dari abad yang berbeda dengan karya lukis yang tidak seperti pada umumnya. tak sabar aku melihat warna-warna lukisan mereka terpampang nyata dan diserap langsung di mataku. berdebar-berdebar. bebanku seperti semakin banyak: membuat nyata bahwa aku akan tertawa mendengar percakapanku dengan pembimbingku siang ini saat di Belanda nanti.

dengan beban bertambah, aku menjadi teringat dengan kegagalanku tahun lalu. membuat sebuah acara seni rupa namun lepas dari esensinya. malu sungguh. entah apa mungkin aku yang terlalu kolot, terpaku dengan tradisi lama, atau terlalu mengidam-idamkan kemurnian dalam berkesenian rupa. apa yang ada di acara tahun lalu merupakan hal yang mengecewakan. saat membuat suatu acara, aku tidak ingin hanya memberikan hiburan saja tetapi aku ingin acara berfilosofi. tidak berfilosofi seperti filsuf-filsuf namun sebuah kesan. adanya acara seni rupa di fakultas yang setiap jurusannya diembel-embelkan "sastra" adalah kesempatan untuk membuka pikiran orang bodoh yang menganggap anak sastra cuman belajar bahasa dan itu gampang. salah besar. sungguh kesalahan fatal dan kebodohan tingkat kritis apabila kalian masih memiliki mindset seperti itu. tak mungkin aku menjabarkan di sini apa saja yang kami pelajari, tapi kalian bisa lihat sendiri orang-orang besar (dalam bidang ilmu pasti pun) yang terkenal memiliki ketertarikan pada sastra dan penilaian seni yang mahal dibandingkan orang-orang yang meremehkan bidang tersebut. bahasa yang kalian gunakan dapat mengguncang dunia, bung! tetapi tidak hanya aksara dan huruf-huruf latin saja para sastrawan dapat berkarya, lihat Sapardi, dalam profil singkatnya pun dia disebut sebagai seorang pelukis.

sastra dan seni rupa bisa berjalan bersamaan. aku tahu banyak anak-anak sastra adalah anak buangan, bahkan sekarang buangan dari seni rupa. banyak yang mungkin akhirnya memupuskan kuliah mereka karena terlalu banyak tulisan dibandingkan gambar seperti yang ditawarkan fakultas seni rupa (dibayangan mereka). aku pernah ada di fase itu. tapi aku tidak mau berlama-lama berada di fase itu dan seperti orang kebanyakan menghapus segala huruf dan menggantikannya dengan torehan garis-garis. aku bisa membuat huruf dengan kuas. orang cina begitu bukan?
itu yang ingin aku tunjukan, apalagi kepada para mahasiswa baru yang ada sedingin es tetapi lebih banyak yang berkobar membara. pameran yang menghadirkan karya rupa sekaligus karya sastra. walau tak membaur menjadi satu tapi terpisah saling mendukung. walau hanya dalam bentuk pameran kecil, tapi aku ingin banyak yang mendapatkan maknanya. walau hanya diskusi di ruang publik kecil, tetapi aku ingin pendengarnya mendapat pengetahuan yang lebih luas. tak aku bermimpi satu universitasku datang memadati ruangan. cukup anak-anak fakultasku saja sudah membuatku senang. acara seni rupa ini milik fakultasku. aku ingin mendekati fakultasku. saat orang fakultasku saja berkesan, mereka dapat menceritakannya kepada publik luas. aku ingin yang bercerita dapat menyerap ruang kecil namun padat pengalaman ini sepenuhnya. ibarat mencuci pakaian bernoda membandel, kalau hanya merendamnya di air bak deterjen tanpa mengoleskan deterjennya langsung ke nodanya, ya nodanya hanya setengah-setengah hilangnya.

mungkin kepalaku ini belum sampai di kepala rekan kerjaku saat itu. manusia modern ini hanya ingin segala sesuatu yang besar dan instan. tidak tahu proses. hanya melihat, ikuti, dan merubah sedikit. tak ada isinya. entah apa aku berada di kotak modern itu atau tidak. apabila aku berada di sana, aku tak ingin berlama-lama menjadi manusia jenis itu. aku akan berada di Belanda dan menghabisi para monster-monster besar itu dengan satu jarum kecil yang sedang kucari ditumpukan jerami.



sebenarnya orang sadar ada yang salah dari segala kemudahan hidup hari ini, tapi mereka mengacuhkannya dan carpe diem. this is the beginning of re-renaissance.

No comments:

Post a Comment