Pages

9.2.14

hati yang gundah #2

kapan terakhir kali aku menarik nafasku dalam-dalam, terputus-putus, dan membuyarkan helaian rambut yang diikat asal-asalan hanya untuk berdialog membicarakan risau. bertanya apa yang ingin dikatakan tapi tak dapat dikatakan. mendirikan pertahanan merunduk seperti padi agar tidak patah oleh angin. apadaya. padi ini tetap layu sembil tiap bulirnya terhempas angin beliung. tak terkirakan akan angin yang menghembus lebih kuat dari yang dibayangkan. bulirnya pun entah kemana dibawa angin. saat itu, angin tahu padi ini tak beres.



ku katakan pada dirinya, "ik ben niets voor jouw. als je leven kan kiezen zal je schrijven kiezen, geen mij." suara diam, tapi nafasnya bersuara keras. dugaku dia akan membahas segala masa lalu yang pernah ia katakan di awal kami bersama. "als je een vraag stelt aan mij, wat zal ik kiezen tussen jij en schrijven, zal ik zeker schrijven kiezen! het spijt mij dan..." aku terima dan aku rasa inilah hari itu. lagi pula, "er zijn twee vrouwen die veel beter dan mij. perfect vrouwen!" tidak hanya sempurna, tapi juga merana dengan cinta platonis, sempurna sekali mereka merealisasikan cerita fiksi. semua orang di sekitar kami berbicara itu kepadaku, kepadaku sendiri. hingga satu hal keluar di kepalaku, "apa aku tidak juga dikasihani dengan ocehan kalian itu? manusia macam apa aku memang? manusia tanpa hati?"

bukan deru nafas lagi yang kudengar, melainkan nafas untuk menenangkan diri. sementara deru itu berpindah ke diriku. dia mengambil sebuah kertas. berbicara. memperlihatkan sesuatu. bicara. bicara. bicara. dan aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, terputus-putus.


angin bertiup sebaliknya, mengembalikan semua buyaran yang ia hasilkan. bulir-bulir padi terbang mundur dihirup oleh sedotan angin yang dahsyat. bulir-bulir itu kembali ke tangkainya. menempel erat. saling rangkul. menunggu suatu hari terlepas menjadi gabah awal kehidupan.

No comments:

Post a Comment