Pages

19.9.13

Syahrini yang "alhamdulillah sesuatu banget"


Sesuatu yang ada di hatiku
Sesuatu yang ada di hatimu
Sesuatu yang ada di benakmu
Sesuatu juga yang dalam benakmu

ini lah sepenggal lirik dari nona jambul khatulistiwa, Syahrini. Tak mungkin pembaca Indonesia tidak mengenal nama ini. Sekali pun tidak ada TV di sekitar anda, setidaknya ada orang yang bisa menirukan cara berbicaranya yang "alhamdulillah, sesuatu banget".


Setiap minggu di hari Senin, aku memulainya dengan salah satu mata kuliah mengenai sosiolinguistik. mata kuliah ini merupakan ilmu terapan dari linguistik. fenomena bahasa yang dibahas adalah yang berkaitan dengan sosial. tidak panjang lebar, di minggu ketiga kelas ini membahas tentang idiolek, pernah dengar? mungkin pernah tapi tidak jelas apa artinya. idiolek adalah ciri penggunaan bahasa dilihat dari individunya. sehingga idiolek membahas tentang bagaimana bahasa digunakan oleh seseorang sehingga menjadi bagian dari ciri-ciri dirinya. kasus yang mudah adalah menganalisa idiolek dari para figur publik. seperti tukul dengan dialek jawanya dan terkesan sering menyalah-nyalahkan orang atau yang Freud bilang dalam mekanisme kerja ego, proyeksi, melempar kesalahan ke orang lain atas kesalahan yang ia lakukan. namun dalam kasus Tukul, proyeksi ini disengaja dan ada unsur kritik dari idioleknya ini. tapi kita tidak akan membahas Tukul. membahas wanita cantik lebih menarik bukan? dan ya, Syahrini lah salah satu figur publik yang bisa kita bahas idioleknya.

Dosenku memperlihatkan dua video yang mana Syahrini memberikan pembelaan tentang cara bicaranya yang "alhamdulillah, sesuatu banget". Di video pertama, Syahrini memberikan alasan mengapa iya sering mengucapkan "alhamdulillah, ya...". Tradisi keluarga ia katakan sebagai alasan utama. Syahrini mengatakan bahwa ayahnya selalu mengingatkan bahwa saat menanggapi suatu pertanyaan, mengucapkan syukur terlebih dahulu adalah hal yang penting. sehingga ciri khas "alhamdulillah, ya..." bukan sengaja ia buat untuk menjadi ciri khas dirinya tapi karena memang sudah kebiasaan keluarga. Lalu pada video kedua, Syahrini memberikan alasan mengapa ia sering mengucapkan kata "sesuatu" tiap wawancaranya dan ia berdalil bahwa kata-kata itu muncul begitu saja setiap kali ia bingung mau menjelaskan apalagi kepada para wartawan yang selalu bertanya hal-hal yang berulang-ulang kali dipertanyakan.

Studi sosiolinguistik bisa dibilang adalah studi yang "kepooo banget". mungkin para kepoers-kepoers di luar sana adalah para ahli sosiolinguistik secara tidak sadar. mereka mencari latar belakang seseorang atau kelompok untuk mengetahui kenapa orang-orang tersebut menggunakan bahasa yang mereka gunakan. misalnya melihat dari latar belakang sosial, ia perempuan atau laki-laki, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Pengakuan Syahrini di atas merupakan data yang diperlukan oleh para peneliti sosiolinguistik. Dapat kita benarkan bahwa apa yang dia katakan atau sebutkan merupakan hasil dari latar belakang budayanya (ya, bisa dibilang budaya juga karena salah satu kata "cetar"nya itu dipengaruhi oleh bahasa sunda yang ia gunakan sehari-hari di lingkungan keluarganya). identitas bahasanya ini bukan ia buat-buat tapi memang begitu adanya. Oke, secara bahasa ciri khas dia sudah diketahui penyebabnya. bagaimana dengan penampilannya? bidang ini ternyata juga dibahas oleh sosiolinguistik. bagaimana seseorang berpenampilan dapat juga mempengaruhi penggunaan bahasanya. mungkin sebagai contoh aku bisa katakan seseorang yang berpenampilan kurang rapih mencerminkan juga bahasanya yang kurang sopan. tapi tidak semuanya bisa kita seragamkan begitu, ada saja orang yang tampilannya berantakan namun ternyata bahasa Indonesianya EYD. kembali ke kasus Syahrini, selain bahasanya dan juga aksen bicaranya yang mendesah menggemaskan (begitu kata narator acara gosip tsb), gaya berpenampilannya pun cukup "wah" dan bahkan mendekati level berlebihan. memakai pakaian rancangan designer, rambut yang terjuntai lembut terawat, mata tajam hasil kontak lens dan bulu mata anti-badai, dan juga tas-tas mahalnya (yang entah semuanya asli atau KW supra-super). Lalu, dosenku bertanya, apakah figur publik satu ini sebenarnya sedang ingin mencapai kelas tertentu dengan perilakunya tersebut? well, sebagian kelas mengatakan, "ya" tapi ada satu orang temanku yang mengatakan "tidak" karena ia berpegang pada alasan Syahrini tentang bahasa yang ia gunakan, sudah tradisi, sehingga perilaku "girang"nya itu memang sudah dari sananya karena dia memang sudah ada di level atas. 

Hmmm, yang muncul di benakku, apakah temanku ini sudah melihat instagram Syahrini?
Tidak usah aku gambarkan bagaimana isi instagramnya. yang penting kalian ketahui bahwa satu foto bisa berisi belasan hashtag dengan kalimat panjang nan puitis bagai candu (#bukankhayalan, #bukanfatamorgana, #ininyataterpampang, #hermes, #chanel, #louisvuitton). penasaran? princesssyahrini.

Sebenarnya pendapat temanku itu sedikit mengganggu pemikiranku. walau memang ia bersikap untuk tidak mainstream tapi seharusnya ada analisa yang lebih dalam lagi dari perilaku-perilaku Syahrini bukan hanya dari bahasa saja. Mungkin dari segi bahasa bisa dibenarkan dia tidak dengan sengaja mencari popularitas dengan idioleknya, tetapi bagaimana dengan secara keseluruhan, seperti penampilan dan cara bersikap yang juga dikaji oleh sosiolinguistik? sepertinya ada yang kurang tepat namun belum bisa ku jelaskan secara ilmiah sampai hari ini pada akhirnya pemikiranku ini didukung oleh teori seorang Romo (yang tidak diketahui namanya) di kelas Filsafat Ilmu Pengetahuan kelas si Bulan.

Romo ini membahas kebudayaan dengan teori sosial kritis yang menyebut-nyebut istilah kapital. cukup bertentangan bukan dengan pandangan kebudayaan yang ada di mana kapitalis dianggap tidak memiliki budaya karena manusianya dituntut untuk banyak berproduksi ketimbang menikmati hari-hari mereka dengan kegiatan di luar pekerjaan. Si Bulan dengan singkat menjelaskan bahwa teori sosial kritis ini dibagi menjadi dua hal, kapital (modal) dan arena (ruang sosial). Kapital dibagi menjadi empat, ada kapital kebudayaan (modal yang berasal dari diri kita, seperti pengetahuan), kapital ekonomi (modal yang berasal dari uang), kapital sosial (modal yang berasal dari relasi kita dengan orang-orang sekitar), dan kapital simbolik (modal yang berasal dari pengakuan orang lain secara resmi maupun tidak resmi). Sementara di dalam arena ada kelas yang dibagi menjadi tiga, kelas dominan (para penguasa), kelas borjuis kecil (para orang-orang menengah yang sedang berusaha memasuki arena dominan), dan kelas populer (masyarakat). Lalu, Romo pun menjelaskannya dengan fenomena Syahrini. ia menempatkan Syahrini adalah seseorang dari kelas borjuis kecil (aha!). analisaku, Syahrini menggunakan kapital simbolik, kapital relasi dan kapital ekonomi untuk masuk ke kelas dominan. Ia memanfaatkan kapital simbolik dengan profesinya sebagai penyanyi fenomenal cap dari masyarakat (pengakuan). pengakuan masyarakat itu menghasilkan pundi-pundi kapital ekonomi berlimpah. dengan kapital simbolik dan kapital ekonomi yang telah ia miliki, ia meraih kapital relasi baru yakni orang-orang di kelas dominan. Lucunya, Romo itu tahu tentang isi instagram Syahrini yang menggunakan tas Hermes, lalu banyak perempuan-perempuan ingin berfoto dengan Syahrini dan tas Hermesnya. bisa ditarik kesimpulannya bahwa Syahrini sedang melakukan social climbing (wink). 

sebenarnya setelah temanku memberi pendapat "tidak"nya itu, dosenku menceritakan pengalaman salah seorang keponakanya yang mendapat kesempatan untuk bekerja di Lamborgini sebagai marketing. ia memiliki tugas untuk menelpon kaum jetset memberitahukan bahwa Lamborgini menerbitkan majalah terbaru. Ia bercerita pengalamannya saat berhadapan dengan orang-orang berlimpah harta: seseorang yang memang sudah lama berada di kelas sosial yang tinggi biasanya akan lebih terbuka saat ia ditawarkan sesuatu dengan menerima tawaran tersebut. sementara dengan OKB (Orang Kaya Baru) akan bersikap tidak acuh dan beralasan "aduh saya tidak punya waktu" sehingga muncul kesan bahwa dia orang tersibuk sejagad raya (ok, aku berlebihan).

Sikap dosenku saat bercerita tidak menunjukkan bahwa apa yang temanku pikirkan dan kelasku pikirkan itu ada yang salah atau benar. Seperti beliau mengembalikannya kembali kepada kita untuk menganalisa Syahrini dengan fakta-fakta yang ada di sekitar, bukan hanya dari Syahrininya sendiri tetapi juga membandingkannya dengan keadaan dan pengalaman orang lain di luar sana.



Jikalau aku boleh membahas alasan-alasan Syahrini tentang bahasanya dengan pisau psikoanalisa, bisa jadi pernyataannya tersebut merupakan pertahanan diri ego dengan mekanisme proyeksi. kenapa proyeksi? Pada alasan "alhamdulillah", ia membuat alasan dengan melemparkan gaya bahasa dari keluarganya. sehingga bukan hanya dirinya saja yang harus bertanggung jawab dengan idioleknya, tetapi juga keluarganya. proyeksi dalam kasus ini bukan merupakan hal yang negatif namun semata-mata hanya pembelaan saja. Ya, pada dasarnya id Syahrini sedang menjalankan tugasnya agar mencapai kepuasan menjadi populer dengan kelebihan yang ia sadari ada di dirinya. 

bisa aku bilang tulisan ini merupakan terapan ilmu yang sedang aku pelajari dalam beberapa minggu ini. entah tulisan ini benar atau tidak karena teori dalam ranahku sendiri ini tidak seperti teori dalam ilmu pasti. akan banyak bantah-membantah yang muncul setiap kali suatu pernyataan dikeluarkan dari sangkarnya.

No comments:

Post a Comment